Minggu, 04 Mei 2014

Secret Admirer Part 1 (cerbung)

Aku siap... Aku siap... Aku siap...

Nana bergumam kata-kata yang dia tiru dari tokoh spongebob squarepants itu berkali-kali sepanjang pagi. Dia juga berdandan rapi. Memaju-mundurkan badannya di depan pintu, seolah siap mendobrak pintu itu kapan saja.
Begitulah kebiasaan Athena Juvidi, putri kesayangan Karina Juno Prameswari dengan Mario Zevidi. Disebut putri kesayangan karena hanya dirinya anak mereka yang perempuan. Kakak Nana, Arestio Juvidi seorang laki-laki.
Okay, kembali ke Nana.
Begitulah kebiasaan Nana setiap pagi sebelum berangkat sekolah. Apabila dirinya sudah siap, sedangkan Sang Ayah dan kakaknya belum, dia akan stand by di depan pintu dan mengayun-ayunkan badannya sampai akhirnya mereka pamitan kepada Karina lalu berangkat. Orangtuanya membiarkan kebiasaan Nana itu. karena gak bisa dihilangkan, juga. Sedangkan sang kakak lebih suka menggodanya.
"Lo terus kayak gitu lama-lama jadi bandul!" godanya suatu hari. Nana membalaskan dengan memeletkan lidahnya dan tetap melakukan kebiasaannya.
Memang kebiasaan itu lama-lama jadi aneh. Nana mulai melakukannya dari SD dan sampai kelas 2 SMA dia masih belum bisa menghilangkan kebiasaan itu.
Nana masih mengayun-ayunkan badannya saat Ares, kakaknya, mengacak-acak rambutnya.
"Pamitan sana lo. Sebelum jadi bandul beneran!" kata Ares.
"Udah beres? Akhirnya..." dia menjawab sendiri pertanyaan retoris itu. "Ngalahin Ratu Inggris, tau nggak?"
"Lebay lo! Udah buruan! Keburu telat!" suruh Ares. Nana buru-buru menyalami mamanya yang masih di dalam.
"Kalo ada orang yang membuat kita berdua telat hari ini, itu lo kali! Dasar sipit!!" kata Nana begitu dia sampai di mobil dengan sang ayah. Mata Ares emang rada sipit. Keturunan ibunya.
"Enak aja lo! Lo aja kali yang emang kerajinan bangun jam 3 pagi! Ngapain sih? Nungguin gebetan lewat?" cibir Ares dari kursi depan. Ayahnya hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah 2 anaknya yang jaraaaang banget bisa akur.
"Idiiih...! Kalau ada cowok yang persis banget mukanya kayak Afgan, baru gue punya kecengan!" sahut Nana. Dia memang fans berat Afgan. Afganisme sebutannya.
"Lo cari compare Afgan. Pasaran tau nggak wajah kayak gitu! Sekalian dong yang jauh! Mario Maurer, kek. Lumayan, tuh…" goda Ares. Dia tau persis adiknya gak suka sama artis-artis dari Thailand. Mukanya cantik semua, katanya. yang artinya cowoknya pun juga cantik.
"Nggak ada yang lebih bagusan apa?" tanya Nana judes. Ares tertawa terbahak-bahak melihat respon Nana.
"Asem banget muka lo!" kata Ares ditengah tawanya
"Gak sopan banget sih lo!" seru Nana jengkel lalu mencoba memukuli kakaknya. Ares buru-buru menutupi kepala dengan lengannya masih dengan tertawa. Sang ayah berusaha melerai cikal bakal perang dunia ketiga itu.
"Udah... Papa gak konsen nih nyetirnya." lerainya.
"Papa nyetir ya nyetir aja. Kan aku nggak mukulin papa." sahut Nana polos. Sontak, sang papa menoleh ke arah Nana dan tawa Ares menyembur lagi. Kali ini lebih ngakak.
"Astaga!! Bisa-bisanya gue punya adek bego banget!" kata Ares. Sang papanya hanya geleng-geleng kepala dan kembali memfokuskan dirinya ke jalan di depannya.
“Lebay tau, nggak!” Nana memilih tidak mengutarakan argumennya. Apa coba yang lucu? Selera humor yang payah! Dasar sipit! umpat Nana dalam hati.

*****

Kalau bukan karena sobatnya, Ami, Nana gak bakalan berdiri di koridor diantara cewek-cewek yang melongokkan kepalanya ke bawah dengan antusias.
“Duh, mi… useless tau’! Ngapain sih kita di sini? Mana sempit banget lagi!” gerutu Nana sambil melirik cewek-cewek di sampingnya yang desak-desakkan untuk bisa melihat ke bawah.
“Dibilangin kita nungguin cowok baru itu!” jawab Ami.
“Idiiiiiih….! Siapa dia coba sampe harus disambut segala? Putra raja? Putra raja sekalipun gak bakal gue sambut! Kalo…,” belum selesai Nana ngomel Ami langsung menyahut Nana.
“Kalo ada Afgan kesini baru lo sambut! Iya gue tau! Bosen tau, nggak denger lo ngomong gitu tiap hari!” sahut Ami.
“Nah itu lo tau.” ujar Nana enteng.
“Sinting tau nggak lo.” Kata Ami pelan sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Lebih sinting siapa coba sama orang yang nyambut cowok gak jelas dengan heboh kayak gini?” balas Nana sinis.
“Gak jelas lo bilang? Lo sih kemaren gak liat! Dia kesini kemaren buat ngurus administrasi. Sumpah, Naaa!! Tampangnya udah kayak Dewa Yunani gitu!!” Ami menerangkan dengan histeris.
“Kayak si Ares, dong?” goda Nana. Nama kakaknya itu memang nama salah satu figure Dewa dalam mitos Yunani, Dewa Perang.
“Tampangnya Kak Ares emang lumayan, tapi tu cowok lebih keceee!!!” jawab Ami.
“Lebay lo!” Nana memutar bola matanya. “Gue cabut.” Segera dia menyelip mencari celah diantara gerombolan teman-teman ceweknya yang juga ikut prosesi penyambutan si “putra raja” itu.
Pada gak beres, nih! batin Nana.

*****

Leonardo

Leo hanya melirik sekilas “berikade” yang dibentuk dadakan oleh cewek-cewek di sekolah barunya. Para cewek itu sibuk berbisik-bisik dengan temannya sambil melirik ke arahnya. Malah ada yang terang-terangan memanggilnya, “Selamat datang, Leoo!”
Dari setiap kepindahannya, hal yang paling Leo benci adalah ini. Banyaknya mata yang memandangnya pada hari pertamanya masuk sekolah sebagai murid baru. Dia benci sekali menjadi pusat perhatian. Apalagi perhatian yang dia dapat terlalu berlebihan. Seperti penyambutan ini.
Leo sama sekali tidak menghiraukan sambutan itu. Lebay, pikirnya. Dia merasa dirinya adalah salah satu hewan yang dipamerkan dari kandangnya untuk melakukan suatu atraksi.
Haha, you wish! batin Leo.
Dengan cueknya, dia keraskan volume lagu yang sedaritadi dia dengar melalui headset putih-nya. Dia pun berjalan santai ke arah kelasnya yang sudah diketahui letaknya tanpa menghiraukan gerombolan penyambut di sekelilingnya.

*****

“Leo di sini aja!”

“Ngimpi aja lo! Leo pasti maunya sama gue, dong!”

“Eh, Ki! Minggir, dong! Biar si Leo duduk di sini!”

Kelas IX.2 itu langsung riuh saat wali kelas mereka meminta Leo memilih tempat duduknya. Terutama para cewek. Leo menatap keriuhan di depannya dengan tatapan datar.
“Sudah cukup! Semuanya diaam!” seru Bu Rini, wali kelas tersebut. Kelas langsung senyap.
“Leo, kamu bisa duduk di belakang Ami dan Nana.” Kata Bu Rini sambil menunjuk 2 siswi yang disebutnya. Leo mengangguk kecil, lalu segera berjalan menuju bangku barunya. Dia duduk sendiri.
Saat ia melintasi kelas, setiap mata memandanginya. Dan Leo tetap mengacuhkan pandangan itu sampai dia akhirnya duduk.
Cewek di depannya memutar badan ke arahnya. Pipinya chubby, batin Leo.
“Hai! Kenalin, gue Ami.” Ami mengulurkan tangannya, mengajak berkenalan. Leo menyambut tangan itu sambil tersenyum kecil.
“Gue Leo.” Ujarnya singkat. Ami melepas tangannya dan menyikut teman sebangkunya. Perempuan disebelahnya terusik. Dia menatap jengkel Ami. Ami membisikkan sesuatu padanya. Perempuan itu terlihat menolak apapun yang telah dibisikkan Ami. Mereka pun berdebat dengan suara pelan.
Leo hanya menggelengkan kepala melihat tingkah dua cewek di depannya.
Cewek di mana aja sama. Sama-sama lebay! komentar Leo dalam hati.
Dia mengambil buku kosong di tasnya. Dia mulai mencatat materi yang tengah diterangkan gurunya di depan. Dirinya agak terganggu dengan senggolan-senggolan Ami dan teman sebangkunya yang sedari tadi belum selesai.
Debat non-verbal dua cewek di depannya itu (yang terdiri dari sikut menyikut, lirikan tajam, dan senggol menyenggol) belum selesai sampai bel istirahat berbunyi. Leo hanya mengernyit. Kayaknya dia akan sering melihat adegan-adegan barusan untuk ke depannya.
Dia langsung berhenti memandang aneh 2 cewek aneh di depannya setelah melihat apa yang sedang berjalan ke arahnya.
Oh, great! keluh Leo. It is gonna be a loooooong day!

*****

Athena

Hari ini benar-benar menyebalkan untuk Nana. Kedatangan Leo, anak baru itu, benar-benar membuatnya kesal.
Dia susah untuk konsentrasi ke pelajaran dengan Ami menyenggolinya terus-menerus menyuruhnya berkenalan dengan anak baru itu, yang sialnya, duduk di belakang dia.
“Ntar istirahat aja kenapa, sih?” bisik Nana kesal.
Susah lah! Pasti nanti anak-anak dari kelas lain pada lari ke kelas kita buat kenalan sama tu cowok. Nyesel lo ntar!” balas Ami
“Kayak yang nggak ketemu dia lagi aja.” Sahut Nana enteng. Dan sepanjang pelajaran, Ami masih keukeuh dengan pendiriannya. Bikin orang bete aja!
Dan ucapan Ami benar. Pada jam istirahat, banyaaak sekali cewek-cewek dengan setianya menemani Leo menghabiskan waktu istirahat.
Karena bangkunya dan bangku Ami telah diboikot oleh Leo lovers itu, maka mereka berdua terpaksa menghabiskan waktu istirahat di luar kelas. Merupakan suatu hal yang tidak begitu Nana sukai.
Dan itu gara-gara “putra mahkota” itu!!!
“Ya ampun! Jelek banget tu muka! Ckckck… malu gue ngakuin lo adek!” kata Ares gak sopan saat Nana dan Ares menunggu jemputan di halte sekolah. Biasanya, mereka berdua pulang sendiri naik bus, tapi hari ini karena papanya pulang cepat (banget, malah), beliau berbaik hati menjemput anak-anaknya. Kebaikan hati itu disambut dengan sorak gembira kakak-adik itu. Kebetulan keduanya bersekolah di tempat yang sama.
“Gak begitu peduli dengan pengakuan lo. Gak ngaruh juga.” balas Nana jutek. Ares tertawa melihat reaksi sang adik.
“Kenapa sih lo? Jutek banget. Cerita, dong!” kata Ares. Walaupun sering banget mereka bertengkar, keduanya cukup akur untuk bisa bertukar cerita. Karenanya, sebete-betenya mereka, keduanya saling menyayangi. Ceritalah Nana soal kebeteannya hari itu. Ares menyimak cerita sang adik dengan serius.
Wait, si Leo itu yang tampangnya rada-rada mirip orang Thailand itu bukan?” tanya Ares begitu Nana selesai bercerita. Nana mengangguk.
“Haha! Makin gak suka aja ya lo sama orang Thailand.” Goda Ares. Nana hanya mendengus kesal.
“Cuekin aja lah, dek. Selama dia nggak ngganggu lo langsung, ya biarin aja.” Kata Ares. Tak lama kemudian terlihat mobil sang ayah mendekat.
Di mobil Nana banyak diam. Iya juga, ya? Ngapain gue bete gara-gara si anak baru itu? Ngabisin tenaga! Bego banget lo, Na. Sadar!
Nana memejamkan mata dan bersandar di jok mobil. Berharap ketika dia membuka matanya, dia sudah agak tenang.

*****

Ketenangan Nana gak berlangsung lama karena dirinya dipindah (dengan sadis dan kejam, kalo kata Nana) duduk sebangku dengan Leo. Dan dia sangat menyesali perpisahannya dengan Ami.
Leo orangnya dingiiiiiiiiiin banget. Udah gitu cuek, lagi. Nggak ada ramah-ramahnya deh tu anak!
Gak jarang malah mereka berantem. Yang suara ballpoint-nya Nana pas nulis ngeganggu lah, yang Leo suka sok gak denger kalo Nana tanya lah, banyak, deh!
Sering banget Leo itu ngomong siniiis banget ke Nana, dan Nana nggak pernah tau alasannya. Otomatis dia juga bales sinis. Dan terjadilah sinis-sinisan antar 2 orang itu.
Leo juga sering bikin Nana nggak konsen belajar gara-gara ketukan pensilnya waktu dia ndengerin musik pas pelajara lewat headset. Dan Leo nggak nanggapi keluhan Nana soal itu.
Leo itu nggak pernah bisa diajak diskusi ataupun kerja kelompok. Nilai Nana pasti jelek kalo sekelompok sama Leo.
Leo juga semaunya sendiri. Dia akan dengan santai (ngancem kalo Nana ngelawan)  ngambil catatan Nana soalnya pas gurunya nerangin dia tidur atau nge- gambar-gambar gak jelas di bukunya.
Pokoknya yang namanya Leonardo Aditya Haling itu ngeseliiiiiin banget!!
Namanya gak jelas lagi! (mulai nggak nyambung)
Sampe Ami sendiri kasian liatnya.
“Na, udahlah cuekin aja. Makin lo bete, makin seneng dianya.” Kata Ami suatu hari. Walaupun dalam hati dia juga lumayan naksir Leo, nggak mungkin juga dia mbelain Leo pada saat kayak gini. Habis diamuk Nana ntar. Nana kalo marah kan lumayan horror.
“Gue berusaha nyuekin, dia tambah ngeselin. Gue jutekin dikit, dia nyolot! Ngeselin banget, kan?! Tau deh maunya tuh orang apa!” cetus Nana kesal. Dia nggak habis pikir sama sekali maksud Leo. Hobi banget cari gara-gara sama dia.
“Sabar… ngomong-ngomong, gue tadi liat si Nugraha, lho!” kata Ami berusaha mengalihkan pembicaraan. Dan berhasil!
“Serius lo? Di mana? Ngapain?” Nana jadi heboh sendiri.
Nugraha Prasetya, anak kelas XI.1. Anak kelas sebelah. Gebetannya Nana. Dia bohong habis-habisan pada sang kakak soal ini. Kalo urusan kayak gini, yang namanya Arestio Zuvidi itu bisa reseeeeeeee’ banget!
Pernah waktu SMP dia cerita kalo dia suka sama cowok, dan cowok itu bener-bener dikepoin habis-habisan sama Ares. Sampe akhirnya si cowok tadi rada-rada takut sama Nana karena sering banget diperingatin sama Ares untuk nggak ngecewain adiknya. Maksudnya sih baik, tapi caranya itu lho!
Makanya Nana benar-benar “menutupi” sosok Nugraha ini. Ntar kakaknya berulah lagi. Bikin bete!
“Di kantin with his gank. Ketawa-ketawa gak jelas gitu.” Ujar Ami.
“Itu lagi becanda sama temennya, Mi. Gimana sih lo?” kata Nana.
“Belain terus deh tuh orang. Pangeran tercinta sih, ya…” sindir Ami.
“Apaan sih lo? Lebay!” dan 2 orang itu ketawa bareng.
Mereka bercanda cukup lama sampai teman sebangku Nana datang.
“Gue mau duduk.” Kata Leo pendek kepada Ami yang masih asik ketawa. Dia memang duduk di bangkunya Leo.
Nana memandang sinis Leo. “Kalo ngomong yang ramah, dong!”
“Gue ngomong sama Ami. Bukan sama lo.” balas Leo nggak kalah sinis. “Mi,” tatapannya kembali menuju Ami. Yang diliatin lansung berdiri dan menyingkir dari tempat itu. Begitu bangkunya kosong, Leo segera mendudukinya.
“Gue keluar aja, deh! Daah, Nana!” pamit Ami. Sebenernya dia pengen banget sama Ami, tapi males keluar.
“Kalo ketemu Nugraha bilang, Mi!” pesan Nana. Ami berhenti berjalan.
“Kenapa? Gue bilang ke dia kalo lo nyariin dia gitu? Oke.” Kata Ami santai.
“Eeeeeh!! Bukan bego! Yah elo cerita aja ke gue kalo ketemu dia.” ralat Nana. Ami mengangguk pelan.
“Oke fix. Daah!” Ami pun berlari keluar. Tinggalah di kelas itu Nana dan Leo berdua. Krik abis! Nana berkutat dengan novel yang dibacanya, Leo asik mendengar musik dari i-pod nya yang (untungnya) dia dengar menggunakan headset putih yang selalu dia pakai ke sekolah.
Tiba-tiba, ada sebungkus coklat dipangkuan Nana. Nana memandang coklat itu heran.
“Gue liat lo daritadi nggak keluar. Lo cuman bawa bekal roti, yang cuma lo makan 1 karena satunya diminta Ami. Kan lumayan makan coklat segitu buat ganjel perut, karena lo nggak bakalan kenyang lama makan roti setangkup doang.” Jelas Leo sambil konsen mendengarkan musiknya.
Nana benar-benar bingung dengan Leo. “Maksud lo?” tanyanya.
Leo melepas headsetnya. Dia memutar tubuhnya menghadap Nana. “Untuk ukuran anak pinter, pertanyaan lo bego banget.” ledek Leo. Nana memandang Leo tajam. “Maksudnya, tu coklat gue kasih ke lo, dan yang harus lo lakukan hanyalah makan itu coklat. Simple, kan? Nggak gue racunin kok. Masih ketutup kan bungkusnya? Aman.”
Nana masih memandang Leo curiga. “Dalam rangka apa lo ngasih ni coklat?”

“Misi perdamaian.” Kalimat itu membuat Nana melotot. Misi perdamaian?




To be continued...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar