Aku siap... Aku siap... Aku siap...
Nana bergumam
kata-kata yang dia tiru dari tokoh spongebob squarepants itu berkali-kali
sepanjang pagi. Dia juga berdandan rapi. Memaju-mundurkan badannya di depan
pintu, seolah siap mendobrak pintu itu kapan saja.
Begitulah
kebiasaan Athena Juvidi, putri kesayangan Karina Juno Prameswari dengan Mario
Zevidi. Disebut putri kesayangan karena hanya dirinya anak mereka yang
perempuan. Kakak Nana, Arestio Juvidi seorang laki-laki.
Okay, kembali ke
Nana.
Begitulah kebiasaan
Nana setiap pagi sebelum berangkat sekolah. Apabila dirinya sudah siap,
sedangkan Sang Ayah dan kakaknya belum, dia akan stand by di depan pintu dan mengayun-ayunkan badannya sampai
akhirnya mereka pamitan kepada Karina lalu berangkat. Orangtuanya membiarkan
kebiasaan Nana itu. karena gak bisa dihilangkan, juga. Sedangkan sang kakak
lebih suka menggodanya.
"Lo terus
kayak gitu lama-lama jadi bandul!" godanya suatu hari. Nana membalaskan
dengan memeletkan lidahnya dan tetap melakukan kebiasaannya.
Memang kebiasaan
itu lama-lama jadi aneh. Nana mulai melakukannya dari SD dan sampai kelas 2 SMA
dia masih belum bisa menghilangkan kebiasaan itu.
Nana masih
mengayun-ayunkan badannya saat Ares, kakaknya, mengacak-acak rambutnya.
"Pamitan sana lo. Sebelum jadi
bandul beneran!" kata Ares.
"Udah
beres? Akhirnya..." dia menjawab sendiri pertanyaan retoris itu.
"Ngalahin Ratu Inggris, tau nggak?"
"Lebay lo!
Udah buruan! Keburu telat!" suruh Ares. Nana buru-buru menyalami mamanya
yang masih di dalam.
"Kalo ada
orang yang membuat kita berdua telat hari ini, itu lo kali! Dasar sipit!!"
kata Nana begitu dia sampai di mobil dengan sang ayah. Mata Ares emang rada
sipit. Keturunan ibunya.
"Enak aja
lo! Lo aja kali yang emang kerajinan bangun jam 3 pagi! Ngapain sih? Nungguin
gebetan lewat?" cibir Ares dari kursi depan. Ayahnya hanya
menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah 2 anaknya yang jaraaaang banget
bisa akur.
"Idiiih...!
Kalau ada cowok yang persis banget mukanya kayak Afgan, baru gue punya
kecengan!" sahut Nana. Dia memang fans berat Afgan. Afganisme sebutannya.
"Lo cari compare Afgan. Pasaran tau nggak wajah
kayak gitu! Sekalian dong yang jauh! Mario Maurer, kek. Lumayan, tuh…"
goda Ares. Dia tau persis adiknya gak suka sama artis-artis dari Thailand .
Mukanya cantik semua, katanya. yang artinya cowoknya pun juga cantik.
"Nggak ada
yang lebih bagusan apa?" tanya Nana judes. Ares tertawa terbahak-bahak
melihat respon Nana.
"Asem
banget muka lo!" kata Ares ditengah tawanya
"Gak sopan
banget sih lo!" seru Nana jengkel lalu mencoba memukuli kakaknya. Ares
buru-buru menutupi kepala dengan lengannya masih dengan tertawa. Sang ayah
berusaha melerai cikal bakal perang dunia ketiga itu.
"Udah...
Papa gak konsen nih nyetirnya." lerainya.
"Papa
nyetir ya nyetir aja. Kan
aku nggak mukulin papa." sahut Nana polos. Sontak, sang papa menoleh ke
arah Nana dan tawa Ares menyembur lagi. Kali ini lebih ngakak.
"Astaga!!
Bisa-bisanya gue punya adek bego banget!" kata Ares. Sang papanya hanya
geleng-geleng kepala dan kembali memfokuskan dirinya ke jalan di depannya.
“Lebay tau,
nggak!” Nana memilih tidak mengutarakan argumennya. Apa coba yang lucu? Selera humor yang payah! Dasar sipit! umpat
Nana dalam hati.
*****
Kalau bukan
karena sobatnya, Ami, Nana gak bakalan berdiri di koridor diantara cewek-cewek
yang melongokkan kepalanya ke bawah dengan antusias.
“Duh, mi… useless tau’! Ngapain sih kita di sini?
Mana sempit banget lagi!” gerutu Nana sambil melirik cewek-cewek di sampingnya
yang desak-desakkan untuk bisa melihat ke bawah.
“Dibilangin kita
nungguin cowok baru itu!” jawab Ami.
“Idiiiiiih….!
Siapa dia coba sampe harus disambut segala? Putra raja? Putra raja sekalipun
gak bakal gue sambut! Kalo…,” belum selesai Nana ngomel Ami langsung menyahut
Nana.
“Kalo ada Afgan
kesini baru lo sambut! Iya gue tau! Bosen tau, nggak denger lo ngomong gitu
tiap hari!” sahut Ami.
“Nah itu lo
tau.” ujar Nana enteng.
“Sinting tau
nggak lo.” Kata Ami pelan sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Lebih sinting
siapa coba sama orang yang nyambut cowok gak jelas dengan heboh kayak gini?”
balas Nana sinis.
“Gak jelas lo
bilang? Lo sih kemaren gak liat! Dia kesini kemaren buat ngurus administrasi.
Sumpah, Naaa!! Tampangnya udah kayak Dewa Yunani gitu!!” Ami menerangkan dengan
histeris.
“Kayak si Ares,
dong?” goda Nana. Nama kakaknya itu memang nama salah satu figure Dewa dalam
mitos Yunani, Dewa Perang.
“Tampangnya Kak
Ares emang lumayan, tapi tu cowok lebih keceee!!!” jawab Ami.
“Lebay lo!” Nana
memutar bola matanya. “Gue cabut.” Segera dia menyelip mencari celah diantara
gerombolan teman-teman ceweknya yang juga ikut prosesi penyambutan si “putra
raja” itu.
Pada gak beres, nih! batin Nana.
*****
Leonardo
Leo hanya
melirik sekilas “berikade” yang dibentuk dadakan oleh cewek-cewek di sekolah
barunya. Para cewek itu sibuk berbisik-bisik
dengan temannya sambil melirik ke arahnya. Malah ada yang terang-terangan
memanggilnya, “Selamat datang, Leoo!”
Dari setiap
kepindahannya, hal yang paling Leo benci adalah ini. Banyaknya mata yang
memandangnya pada hari pertamanya masuk sekolah sebagai murid baru. Dia benci sekali
menjadi pusat perhatian. Apalagi perhatian yang dia dapat terlalu berlebihan.
Seperti penyambutan ini.
Leo sama sekali
tidak menghiraukan sambutan itu. Lebay,
pikirnya. Dia merasa dirinya adalah salah satu hewan yang dipamerkan dari
kandangnya untuk melakukan suatu atraksi.
Haha, you wish! batin Leo.
Dengan cueknya,
dia keraskan volume lagu yang sedaritadi dia dengar melalui headset putih-nya.
Dia pun berjalan santai ke arah kelasnya yang sudah diketahui letaknya tanpa
menghiraukan gerombolan penyambut di sekelilingnya.
*****
“Leo di sini
aja!”
“Ngimpi aja lo!
Leo pasti maunya sama gue, dong!”
“Eh, Ki!
Minggir, dong! Biar si Leo duduk di sini!”
Kelas IX.2 itu
langsung riuh saat wali kelas mereka meminta Leo memilih tempat duduknya.
Terutama para cewek. Leo menatap keriuhan di depannya dengan tatapan datar.
“Sudah cukup!
Semuanya diaam!” seru Bu Rini, wali kelas tersebut. Kelas langsung senyap.
“Leo, kamu bisa
duduk di belakang Ami dan Nana.” Kata Bu Rini sambil menunjuk 2 siswi yang
disebutnya. Leo mengangguk kecil, lalu segera berjalan menuju bangku barunya.
Dia duduk sendiri.
Saat ia
melintasi kelas, setiap mata memandanginya. Dan Leo tetap mengacuhkan pandangan
itu sampai dia akhirnya duduk.
Cewek di
depannya memutar badan ke arahnya. Pipinya
chubby, batin Leo.
“Hai! Kenalin,
gue Ami.” Ami mengulurkan tangannya, mengajak berkenalan. Leo menyambut tangan
itu sambil tersenyum kecil.
“Gue Leo.”
Ujarnya singkat. Ami melepas tangannya dan menyikut teman sebangkunya. Perempuan
disebelahnya terusik. Dia menatap jengkel Ami. Ami membisikkan sesuatu padanya.
Perempuan itu terlihat menolak apapun yang telah dibisikkan Ami. Mereka pun
berdebat dengan suara pelan.
Leo hanya
menggelengkan kepala melihat tingkah dua cewek di depannya.
Cewek di mana aja sama. Sama-sama lebay!
komentar Leo dalam hati.
Dia mengambil
buku kosong di tasnya. Dia mulai mencatat materi yang tengah diterangkan
gurunya di depan. Dirinya agak terganggu dengan senggolan-senggolan Ami dan teman
sebangkunya yang sedari tadi belum selesai.
Debat non-verbal
dua cewek di depannya itu (yang terdiri dari sikut menyikut, lirikan tajam, dan
senggol menyenggol) belum selesai sampai bel istirahat berbunyi. Leo hanya
mengernyit. Kayaknya dia akan sering melihat adegan-adegan barusan untuk ke
depannya.
Dia langsung
berhenti memandang aneh 2 cewek aneh di depannya setelah melihat apa yang
sedang berjalan ke arahnya.
Oh, great! keluh Leo. It is gonna be a loooooong day!
*****
Athena
Hari ini
benar-benar menyebalkan untuk Nana. Kedatangan Leo, anak baru itu, benar-benar
membuatnya kesal.
Dia susah untuk
konsentrasi ke pelajaran dengan Ami menyenggolinya terus-menerus menyuruhnya
berkenalan dengan anak baru itu, yang sialnya, duduk di belakang dia.
“Ntar istirahat
aja kenapa, sih?” bisik Nana kesal.
“Susah lah! Pasti nanti anak-anak dari kelas lain pada
lari ke kelas kita buat kenalan sama tu cowok. Nyesel lo ntar!” balas Ami
“Kayak yang
nggak ketemu dia lagi aja.” Sahut Nana enteng. Dan sepanjang pelajaran, Ami
masih keukeuh dengan pendiriannya. Bikin orang bete aja!
Dan ucapan Ami
benar. Pada jam istirahat, banyaaak sekali cewek-cewek dengan setianya menemani
Leo menghabiskan waktu istirahat.
Karena bangkunya
dan bangku Ami telah diboikot oleh Leo
lovers itu, maka mereka berdua terpaksa menghabiskan waktu istirahat di
luar kelas. Merupakan suatu hal yang tidak begitu Nana sukai.
Dan itu
gara-gara “putra mahkota” itu!!!
“Ya ampun! Jelek
banget tu muka! Ckckck… malu gue ngakuin lo adek!” kata Ares gak sopan saat
Nana dan Ares menunggu jemputan di halte sekolah. Biasanya, mereka berdua
pulang sendiri naik bus, tapi hari ini karena papanya pulang cepat (banget,
malah), beliau berbaik hati menjemput anak-anaknya. Kebaikan hati itu disambut
dengan sorak gembira kakak-adik itu. Kebetulan keduanya bersekolah di tempat
yang sama.
“Gak begitu
peduli dengan pengakuan lo. Gak ngaruh juga.” balas Nana jutek. Ares tertawa
melihat reaksi sang adik.
“Kenapa sih lo?
Jutek banget. Cerita, dong!” kata Ares. Walaupun sering banget mereka
bertengkar, keduanya cukup akur untuk bisa bertukar cerita. Karenanya,
sebete-betenya mereka, keduanya saling menyayangi. Ceritalah Nana soal
kebeteannya hari itu. Ares menyimak cerita sang adik dengan serius.
“Wait, si Leo itu yang tampangnya rada-rada
mirip orang Thailand
itu bukan?” tanya Ares begitu Nana selesai bercerita. Nana mengangguk.
“Haha! Makin gak
suka aja ya lo sama orang Thailand .”
Goda Ares. Nana hanya mendengus kesal.
“Cuekin aja lah,
dek. Selama dia nggak ngganggu lo langsung, ya biarin aja.” Kata Ares. Tak lama
kemudian terlihat mobil sang ayah mendekat.
Di mobil Nana
banyak diam. Iya juga, ya? Ngapain gue
bete gara-gara si anak baru itu? Ngabisin tenaga! Bego banget lo, Na. Sadar!
Nana memejamkan
mata dan bersandar di jok mobil. Berharap ketika dia membuka matanya, dia sudah
agak tenang.
*****
Ketenangan Nana
gak berlangsung lama karena dirinya dipindah (dengan sadis dan kejam, kalo kata
Nana) duduk sebangku dengan Leo. Dan dia sangat menyesali perpisahannya dengan
Ami.
Leo orangnya
dingiiiiiiiiiin banget. Udah gitu cuek, lagi. Nggak ada ramah-ramahnya deh tu
anak!
Gak jarang malah
mereka berantem. Yang suara ballpoint-nya Nana pas nulis ngeganggu lah, yang
Leo suka sok gak denger kalo Nana tanya lah, banyak, deh!
Sering banget
Leo itu ngomong siniiis banget ke Nana, dan Nana nggak pernah tau alasannya.
Otomatis dia juga bales sinis. Dan terjadilah sinis-sinisan antar 2 orang itu.
Leo juga sering
bikin Nana nggak konsen belajar gara-gara ketukan pensilnya waktu dia ndengerin
musik pas pelajara lewat headset. Dan Leo nggak nanggapi keluhan Nana soal itu.
Leo itu nggak
pernah bisa diajak diskusi ataupun kerja kelompok. Nilai Nana pasti jelek kalo
sekelompok sama Leo.
Leo juga
semaunya sendiri. Dia akan dengan santai (ngancem kalo Nana ngelawan) ngambil catatan Nana soalnya pas gurunya
nerangin dia tidur atau nge- gambar-gambar gak jelas di bukunya.
Pokoknya yang
namanya Leonardo Aditya Haling itu ngeseliiiiiin banget!!
Namanya gak
jelas lagi! (mulai nggak nyambung)
Sampe Ami sendiri
kasian liatnya.
“Na, udahlah
cuekin aja. Makin lo bete, makin seneng dianya.” Kata Ami suatu hari. Walaupun
dalam hati dia juga lumayan naksir Leo, nggak mungkin juga dia mbelain Leo pada
saat kayak gini. Habis diamuk Nana ntar. Nana kalo marah kan lumayan horror.
“Gue berusaha
nyuekin, dia tambah ngeselin. Gue jutekin dikit, dia nyolot! Ngeselin banget, kan ?! Tau deh maunya tuh
orang apa!” cetus Nana kesal. Dia nggak habis pikir sama sekali maksud Leo.
Hobi banget cari gara-gara sama dia.
“Sabar… ngomong-ngomong,
gue tadi liat si Nugraha, lho!” kata Ami berusaha mengalihkan pembicaraan. Dan
berhasil!
“Serius lo? Di
mana? Ngapain?” Nana jadi heboh sendiri.
Nugraha
Prasetya, anak kelas XI.1. Anak kelas sebelah. Gebetannya Nana. Dia bohong
habis-habisan pada sang kakak soal ini. Kalo urusan kayak gini, yang namanya
Arestio Zuvidi itu bisa reseeeeeeee’ banget!
Pernah waktu SMP
dia cerita kalo dia suka sama cowok, dan cowok itu bener-bener dikepoin
habis-habisan sama Ares. Sampe akhirnya si cowok tadi rada-rada takut sama Nana
karena sering banget diperingatin sama Ares untuk nggak ngecewain adiknya.
Maksudnya sih baik, tapi caranya itu lho!
Makanya Nana
benar-benar “menutupi” sosok Nugraha ini. Ntar kakaknya berulah lagi. Bikin
bete!
“Di kantin with his gank. Ketawa-ketawa gak jelas
gitu.” Ujar Ami.
“Itu lagi
becanda sama temennya, Mi. Gimana sih lo?” kata Nana.
“Belain terus
deh tuh orang. Pangeran tercinta sih, ya…” sindir Ami.
“Apaan sih lo?
Lebay!” dan 2 orang itu ketawa bareng.
Mereka bercanda
cukup lama sampai teman sebangku Nana datang.
“Gue mau duduk.”
Kata Leo pendek kepada Ami yang masih asik ketawa. Dia memang duduk di
bangkunya Leo.
Nana memandang
sinis Leo. “Kalo ngomong yang ramah, dong!”
“Gue ngomong
sama Ami. Bukan sama lo.” balas Leo nggak kalah sinis. “Mi,” tatapannya kembali
menuju Ami. Yang diliatin lansung berdiri dan menyingkir dari tempat itu.
Begitu bangkunya kosong, Leo segera mendudukinya.
“Gue keluar aja,
deh! Daah, Nana!” pamit Ami. Sebenernya dia pengen banget sama Ami, tapi males
keluar.
“Kalo ketemu
Nugraha bilang, Mi!” pesan Nana. Ami berhenti berjalan.
“Kenapa? Gue
bilang ke dia kalo lo nyariin dia gitu? Oke.” Kata Ami santai.
“Eeeeeh!! Bukan
bego! Yah elo cerita aja ke gue kalo ketemu dia.” ralat Nana. Ami mengangguk
pelan.
“Oke fix. Daah!”
Ami pun berlari keluar. Tinggalah di kelas itu Nana dan Leo berdua. Krik abis!
Nana berkutat dengan novel yang dibacanya, Leo asik mendengar musik dari i-pod
nya yang (untungnya) dia dengar menggunakan headset putih yang selalu dia pakai
ke sekolah.
Tiba-tiba, ada
sebungkus coklat dipangkuan Nana. Nana memandang coklat itu heran.
“Gue liat lo
daritadi nggak keluar. Lo cuman bawa bekal roti, yang cuma lo makan 1 karena
satunya diminta Ami. Kan
lumayan makan coklat segitu buat ganjel perut, karena lo nggak bakalan kenyang
lama makan roti setangkup doang.” Jelas Leo sambil konsen mendengarkan
musiknya.
Nana benar-benar
bingung dengan Leo. “Maksud lo?” tanyanya.
Leo melepas
headsetnya. Dia memutar tubuhnya menghadap Nana. “Untuk ukuran anak pinter, pertanyaan
lo bego banget.” ledek Leo. Nana memandang Leo tajam. “Maksudnya, tu coklat gue
kasih ke lo, dan yang harus lo lakukan hanyalah makan itu coklat. Simple, kan ? Nggak gue racunin
kok. Masih ketutup kan
bungkusnya? Aman.”
Nana masih
memandang Leo curiga. “Dalam rangka apa lo ngasih ni coklat?”
“Misi
perdamaian.” Kalimat itu membuat Nana melotot. Misi perdamaian?
To be continued...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar